Wolves dan Vitor Pereira Berpisah di Titik Terendah

Bayangan suram menyelimuti Molineux setelah keputusan pemecatan Vitor Pereira. Dalam situasi yang penuh tekanan dan hasil buruk di Premier League, pemecatan Vitor Pereira di Wolves menjadi akhir dari perjalanan singkat pelatih asal Portugal itu bersama klub yang kini berada di dasar klasemen. Keputusan ini bukan datang tiba-tiba, melainkan hasil dari akumulasi kesalahan strategi, rekrutmen yang keliru, serta kehilangan arah di ruang ganti.

Pemecatan Vitor Pereira di Wolves_Bola Banter_

Pereira datang dengan reputasi mentereng, tetapi pergi meninggalkan Wolverhampton Wanderers dalam kondisi lebih buruk dibanding sebelum kedatangannya. Apa yang sebenarnya terjadi di balik kegagalan ini? Mengapa proyek yang sempat menjanjikan berubah menjadi salah satu musim terburuk dalam sejarah Wolves modern?

Awal yang Menjanjikan Berubah Jadi Kekacauan

Ketika Vitor Pereira pertama kali menukangi Wolves, banyak yang percaya bahwa pengalamannya di berbagai liga besar akan membawa stabilitas. Di musim sebelumnya, ia bahkan berhasil memimpin kebangkitan Wolves hingga menembus enam kemenangan beruntun di paruh akhir kompetisi. Performa itu membuatnya sempat masuk nominasi pelatih terbaik Premier League.

Namun, awal musim baru menghadirkan realitas pahit. Wolves gagal menang dalam sepuluh laga pembuka Premier League, mengoleksi hanya dua poin dari sepuluh pertandingan. Situasi ini memunculkan tekanan luar biasa dari suporter dan media Inggris.
Di laga terakhirnya, kekalahan 0–3 dari Fulham menjadi puncak kekecewaan. Ironisnya, dua pemain yang justru mendapat tepuk tangan dari fans adalah Andre dan Joao Gomes, dua gelandang yang bahkan hanya duduk di bangku cadangan.

Pemecatan Vitor Pereira di Wolves_Bola Banter_Wolverhampton Wanderers

Itu adalah gambaran sempurna dari situasi yang memburuk. Dalam sepak bola, kepercayaan pemain adalah segalanya, dan Pereira tampak mulai kehilangannya.

Kesalahan Rekrutmen yang Fatal

Salah satu sumber masalah terbesar di balik pemecatan Vitor Pereira di Wolves adalah strategi rekrutmen yang kacau. Dengan dana belanja mencapai hampir £150 juta, Wolves membawa sembilan pemain baru, tetapi tak satu pun memberikan dampak signifikan.

Beberapa di antaranya bahkan menjadi simbol dari keputusan yang terburu-buru:

1. Ladislav Krejci

Diboyong dari Girona dengan potensi besar, Krejci tampil lumayan namun belum konsisten. Biaya transfer yang bisa mencapai £26 juta membuatnya menjadi sorotan. Meski punya kemampuan bertahan solid, kontribusinya belum sepadan dengan ekspektasi dan nilai transfer tinggi itu.

2. Jhon Arias

Pemain asal Kolombia berusia 27 tahun ini menjalani musim perdananya di Eropa. Adaptasi yang lambat dan minim kontribusi gol membuat banyak pihak meragukan keputusan klub mendatangkannya.

3. Fer Lopez

Mantan pemain muda Celta Vigo ini disebut punya masa depan cerah, tetapi kurang pengalaman di level tertinggi. Belum satu pun penampilan menonjol berhasil ia catatkan di Premier League.

Selain itu, dua rekrutan di posisi wing-back, David Moller Wolfe dari AZ Alkmaar dan Jackson Tchatchoua dari Hellas Verona, juga gagal memberikan dampak berarti. Bahkan keduanya lebih sering absen dari skuad utama. Sementara itu, penyerang anyar Tolu Arokodare dari Genk hanya menjadi pelapis bagi Jorgen Strand Larsen.

Ketika pemain lama seperti Matheus Cunha, Nelson Semedo, dan Rayan Ait Nouri hengkang, Wolves kehilangan struktur yang sebelumnya jadi kekuatan mereka. Kombinasi rekrutmen gagal dan kehilangan pilar utama membuat tim kehilangan keseimbangan.

Manajemen Klub yang Tidak Konsisten

Pereira memang bertanggung jawab atas hasil di lapangan, tetapi manajemen juga punya andil besar. Wolves telah mengalami pergantian pelatih empat musim berturut-turut, dan itu membuat klub kehilangan arah jangka panjang.

Keluarnya direktur olahraga Matt Hobbs memperburuk situasi. Sebagai gantinya, Wolves menunjuk Domenico Teti, sosok yang dikenal dekat dengan Pereira. Awalnya, keputusan ini tampak masuk akal karena keduanya pernah bekerja sama di klub Al Shabab, Arab Saudi. Namun, dalam waktu singkat, perubahan ini malah menimbulkan ketergantungan berlebihan pada sang pelatih.

Pemecatan Vitor Pereira di Wolves_Bola Banter_Wolverhampton
WOLVERHAMPTON, ENGLAND – OCTOBER 26: Jorgen Strand Larsen, the Wolverhampton Wanderers captain, looks dejected after their defeat during the Premier League match between Wolverhampton Wanderers and Burnley at Molineux on October 26, 2025 in Wolverhampton, England. (Photo by David Rogers/Getty Images)

Ketika performa mulai menurun, struktur klub terlihat rapuh. Tidak ada strategi yang konsisten di luar peran Pereira, dan inilah yang membuat klub kesulitan bangkit setelah hasil buruk.

Menurut laporan Sky Sports, kegagalan sistemik ini mencerminkan hilangnya keseimbangan antara keputusan manajemen dan pelatih. Chairman Jeff Shi yang mewakili pemilik asal Tiongkok, Fosun Group, menjadi sasaran kritik karena visi ambisiusnya berubah menjadi langkah-langkah tanpa arah yang konkret.

Ketidakkonsistenan di Lapangan

Selain masalah struktural, Wolves juga kacau di lapangan. Dalam sepuluh laga pertama, Pereira membuat 29 perubahan susunan pemain, terbanyak di Premier League musim ini.
Perubahan yang berlebihan menimbulkan kebingungan taktis dan menghilangkan rasa percaya diri para pemain.

Di awal musim, Pereira dengan tegas menyatakan bahwa ia berencana bermain dengan formasi tiga bek. Namun, hanya sebelas hari kemudian, ia mengubah sistem menjadi empat bek saat menghadapi Everton di Carabao Cup. Wolves memang menang dalam laga itu, tetapi inkonsistensi mulai tampak.

Pemecatan Vitor Pereira di Wolves_Bola Banter_

Ketika menghadapi Tottenham, ia kembali mengganti formasi di tengah laga. Hingga pertengahan Oktober, Pereira secara terbuka mengakui bahwa skuadnya tidak cocok dengan sistem yang baru ia pilih.
Ia bahkan mengatakan, “Saat ini kami memiliki banyak pemain untuk sistem 3-4-3, tetapi kami kekurangan winger. Kami sedang mencari solusi dari dalam tim.”

Pernyataan itu mengejutkan, mengingat Pereira sendiri yang menyusun skuad tersebut.

Akibatnya, para pemain mulai kehilangan arah. Bahkan dalam empat pertandingan terakhirnya, Wolves selalu memulai laga dengan kapten berbeda. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa tim benar-benar kehilangan pemimpin di dalam maupun luar lapangan.

Kekacauan Mental dan Ruang Ganti

Ruang ganti Wolves menjadi sumber kegelisahan lain. Setelah kekalahan melawan Burnley di kandang sendiri, situasi makin panas. Para pemain harus menahan sang pelatih yang hendak berdebat dengan suporter di tribun.

Pemecatan Vitor Pereira di Wolves_Bola Banter_

Sebelumnya, pada era pelatih Gary O’Neil, suasana ruang ganti juga sudah rapuh. Ketika Mario Lemina sempat bersitegang dengan staf pelatih di laga melawan West Ham, publik menganggap itu tanda kehancuran internal. Namun, di bawah Pereira, keadaan menjadi lebih parah.
Kepercayaan antar pemain dan pelatih menurun drastis.

Di titik ini, pemecatan Vitor Pereira di Wolves bukan lagi pertanyaan “apakah”, melainkan “kapan”. Klub membutuhkan perubahan cepat sebelum musim semakin sulit diselamatkan.

Tanda-Tanda Klub Kehilangan Identitas

Wolves yang dulu dikenal sebagai tim solid dan disiplin kini tampak seperti bayangan dari masa kejayaan mereka di bawah Nuno Espírito Santo. Kala itu, klub memiliki struktur permainan jelas dan filosofi yang konsisten.

Namun sekarang, arah permainan Wolves tidak lagi terlihat.
Pereira datang dengan niat membangun proyek jangka panjang, tetapi gagal mengontrol emosi dan dinamika tim. Semangatnya yang dulu disukai fans berubah menjadi beban.

Mantra yang dulu sering ia ucapkan, “First the points then the pints”, kini hanya menjadi ironi. Ketika kemenangan berhenti datang, dukungan fans pun menguap.

Dampak Jangka Panjang bagi Wolves

Efek domino dari pemecatan Vitor Pereira di Wolves kemungkinan akan terasa lama. Klub kini harus kembali mencari pelatih baru, menjadikan ini musim keempat berturut-turut di mana Wolves mengakhiri tahun dengan manajer berbeda dari yang memulai pramusim.

Pemecatan Vitor Pereira di Wolves_Bola Banter_

Selain menurunkan moral tim, pergantian pelatih berulang juga mengacaukan kontinuitas strategi. Pemain baru harus beradaptasi lagi dengan sistem baru, sementara para pemain lama kehilangan kepastian peran.

Jika kondisi ini terus berlanjut, ancaman degradasi bukan hal mustahil. Apalagi, lawan-lawan di papan bawah seperti Burnley dan West Ham menunjukkan performa lebih solid dan konsisten.

Masih Adakah Harapan untuk Kebangkitan Wolves

Walau situasi tampak suram, Wolves masih memiliki modal untuk bangkit. Beberapa pemain muda seperti Joao Gomes dan Fer Lopez menunjukkan potensi jika diberi kepercayaan penuh. Selain itu, fondasi tim masih bisa diperbaiki melalui strategi jangka menengah.

Pemecatan Vitor Pereira di Wolves_Bola Banter_5 pertandingan wolverhampton selanjutnya

Manajemen kini harus belajar dari kesalahan masa lalu. Fokus pada pelatih yang cocok dengan filosofi klub lebih penting daripada sekadar nama besar. Stabilitas menjadi kunci utama untuk mengembalikan Wolves ke jalur yang benar.

Fans pun berharap agar klub kembali ke akar permainan mereka, intensitas tinggi, solid di pertahanan, dan efisien dalam serangan balik. Identitas inilah yang membawa Wolves ke Premier League dan membuat mereka disegani beberapa musim lalu.

Bayangan Molineux dan Masa Depan yang Tak Pasti

Setelah pemecatan Vitor Pereira di Wolves, yang tersisa hanyalah klub yang perlu membangun kembali kepercayaan dari dasar. Perubahan tidak bisa hanya terjadi di sisi teknis, tetapi juga dalam budaya kerja klub secara keseluruhan.

Fosun Group sebagai pemilik harus memutus siklus reaktif dan mulai menerapkan visi yang realistis. Tidak cukup hanya berbicara tentang ambisi papan atas tanpa pondasi kuat di lapangan.

Pereira mungkin bukan pelatih terburuk yang pernah menukangi Wolves, tetapi kejatuhannya menunjukkan masalah mendasar yang lebih besar. Klub ini kehilangan identitas, strategi, dan rasa percaya diri yang dulu menjadi kekuatannya.

Kini, Molineux kembali sunyi. Fans menatap lapangan dengan rasa cemas dan harapan yang sama: agar Wolves menemukan arah yang hilang dan kembali menjadi tim yang mereka cintai, bukan sekadar nama yang bertahan di liga, tapi klub yang punya jiwa.