Guardiola dan Donnarumma tandai perubahan besar City, sebuah babak baru yang menggeser bayangan panjang era Ederson di Etihad. Dari kiper dengan kaki emas yang dulu jadi simbol filosofi Pep, kini City mengandalkan sosok Italia dengan tangan kokoh dan refleks kilat. Langkah ini membuat banyak orang bertanya, apakah Guardiola benar-benar melepas prinsip ball-playing goalkeeper atau justru sedang berevolusi mengikuti kebutuhan tim. Apa pun jawabannya, keputusan ini menegaskan bahwa bahkan ideologi pun bisa bergeser demi menjaga fondasi pertahanan tetap utuh.

Jejak Filosofi Kiper dalam Karier Guardiola
Victor Valdes pernah menceritakan kisah awalnya dengan Guardiola. Ia berkata dalam dokumenter Take the ball, pass the ball:
“He [Guardiola] had a tactics board with two small magnets on either side of the goal, just outside of the box. He said ‘Do you know which players these two are? These are your centre-backs.’ I had no idea what he was talking about; it sounded like he was talking Chinese. And he said ‘When you’ve got the ball, this is where I want them to be. You’ll pass to them, and it’s from here that we’ll build the play’. I thought he was crazy.”

Kisah tersebut menandai revolusi cara pandang kiper dalam sepak bola modern. Dari Barcelona bersama Valdes, kemudian ke Bayern Munich dengan Manuel Neuer, hingga akhirnya ke Manchester City dengan Ederson, Guardiola selalu mengandalkan kiper yang piawai dengan bola di kakinya.
Ederson dan Masa Kejayaan yang Mulai Pudar
Sejak tiba di Manchester City pada 2016, Guardiola langsung mengubah arah. Joe Hart disingkirkan demi Claudio Bravo, lalu Ederson menjadi jawaban sempurna. Selama delapan musim, Ederson mengoleksi enam gelar Premier League dan terkenal dengan distribusi jarak jauh yang presisi. Bahkan, ia mencatat delapan assist sepanjang kariernya di City.

Namun, seiring waktu, performa Ederson mulai menurun. Beberapa kesalahan fatal di Liga Champions musim lalu memperlihatkan kerentanan. Guardiola pun mencari jalan keluar. Di sinilah nama Gianluigi Donnarumma muncul, meski sosok ini jauh dari profil ball-playing goalkeeper yang identik dengan gaya Pep.
Guardiola dan Donnarumma Perpaduan Tak Biasa
Mengapa Guardiola dan Donnarumma akhirnya bertemu di Etihad? Jawabannya ada pada kebutuhan City akan kiper yang lebih konsisten menjaga gawang, bukan sekadar memulai serangan. Donnarumma dikenal sebagai kiper dengan refleks cepat, postur raksasa, dan catatan gemilang dalam adu penalti. Meski sering dikritik karena penampilan dengan bola di kaki, prestasinya bersama PSG dan Timnas Italia tidak bisa dipandang remeh.

Luis Enrique pernah menegaskan alasan melepas Donnarumma di PSG. Menurutnya, ia membutuhkan profil kiper berbeda yang lebih berani memainkan bola. Ironisnya, justru Guardiola yang selama ini identik dengan filosofi tersebut memilih merekrut Donnarumma. Perbedaan pandangan dua eks-Barca ini menjadi bukti bahwa strategi sepak bola terus berkembang.

Donnarumma dan Catatan Emas Kariernya
- Debut dini: Donnarumma tampil untuk AC Milan sejak usia 16 tahun, menjadikannya salah satu kiper termuda yang dipercaya di level tertinggi.
- Euro 2020: Ia menjadi pahlawan Italia dengan menahan penalti Spanyol dan Inggris, sekaligus menyabet gelar Player of the Tournament, satu-satunya kiper yang pernah meraihnya.
- Prestasi PSG: Donnarumma berperan penting dalam raihan treble PSG, termasuk Liga Champions perdana klub tersebut.

Dengan pencapaian itu, sulit untuk tidak mengakui reputasinya sebagai salah satu shot-stopper elit dunia.
Evolusi Gaya Pep Guardiola
Sering disebut sebagai pelatih dogmatis, kenyataannya Guardiola justru adaptif. Ia pernah bermain tanpa striker alami sebelum akhirnya membangun tim di sekitar Erling Haaland, striker murni dengan gaya berbeda. Ia juga pernah memakai full-back ofensif seperti Dani Alves, lalu beralih pada empat bek tengah sejati di City. Kini, melalui Guardiola dan Donnarumma, publik kembali menyaksikan bentuk lain dari evolusi sang pelatih.

Guardiola bahkan mengaku pada ESPN Brasil:
“It’s because otherwise I get bored. Always doing the same thing for eight years would be very boring. Secondly, when you do something and it goes well, they [opponents] watch you and create an antidote. If you go too inside, they close in. If we open up the field too much, they’ll open it up more. Anything we do and they respond to us, we have to respond again. The third reason is the players we have. What specific qualities they have and when they adapt best to the way you want to play.”
Pernyataan ini menjelaskan mengapa ia tidak ragu mengubah haluan demi menyesuaikan pemain yang ada.
Tantangan Donnarumma di Etihad
Meski memiliki reputasi besar, Donnarumma bukan tanpa kelemahan. Beberapa blunder ikonik masih melekat dalam ingatan penggemar, mulai dari kesalahan melawan Real Madrid hingga umpan fatal ke Takumi Minamino. Tantangan utamanya di City adalah beradaptasi dengan sistem Guardiola yang menuntut keberanian distribusi.

Namun, angka-angka tidak selalu berpihak pada kritik. Akurasi passing Donnarumma di Ligue 1 musim lalu mencapai 85,4 persen, hanya sedikit di bawah Ederson dengan 86,3 persen. Bahkan, ia unggul jauh dibanding Ortega dan James Trafford. Jika dikombinasikan dengan kemampuannya membaca arah bola dan dominasi di kotak penalti, ia bisa menjadi aset besar bagi City.
Mengapa Langkah Ini Bisa Berhasil
Ada beberapa alasan mengapa Guardiola dan Donnarumma bisa jadi kombinasi sukses di Manchester City:
- Back to basics: City kembali mengutamakan penyelamatan krusial di momen genting, bukan hanya distribusi.
- Dominasi fisik: Dengan tinggi 1,96 meter, Donnarumma menjadi intimidasi alami bagi striker lawan.
- Pengalaman besar: Meski baru berusia 26 tahun, ia sudah lebih dari satu dekade tampil di level tertinggi.
- Mental juara: Keberhasilannya di Euro 2020 dan Liga Champions bersama PSG membuktikan mental baja di laga besar.

Perubahan Besar City di Bawah Guardiola dan Donnarumma
Kehadiran Donnarumma membuat City meninggalkan satu ciri khas Pep sebelumnya. Bukan berarti Guardiola mengkhianati prinsip, melainkan ia menunjukkan fleksibilitas. Sama seperti saat mendatangkan Haaland, ia tidak lagi terjebak dalam satu gaya tunggal. Sebaliknya, ia menyesuaikan diri dengan peluang merekrut pemain terbaik di posisinya.
Menurut Goal, keputusan ini bisa dianggap sebagai cara City untuk memperbaiki kelemahan yang sudah terlihat dalam beberapa musim terakhir. Jika Donnarumma mampu membawa klub ini kembali mengangkat trofi Liga Champions, maka perdebatan soal prinsip akan langsung sirna.
Ketika Prinsip Bertemu Pragmatisme
Sejarah menunjukkan bahwa Guardiola jarang diam di zona nyaman. Ia selalu mencari inovasi, meski terkadang berlawanan dengan citra dirinya sendiri. Kehadiran Donnarumma hanyalah babak baru dari perjalanan panjang sang pelatih di sepak bola modern. Justru, kemampuan beradaptasi inilah yang menjaga City tetap kompetitif di puncak Eropa.
One thought on “Guardiola dan Donnarumma Tandai Perubahan Besar City”
Comments are closed.