Kegagalan transfer Spurs kembali menjadi cerita rutin yang mewarnai tiap musim Tottenham Hotspur. Dengan ambisi besar Daniel Levy untuk menjuarai Premier League dan Liga Champions, ekspektasi fans membumbung tinggi setelah kemenangan Liga Europa yang begitu dinanti. Namun seperti biasa, rencana besar klub London Utara ini tampak goyah di eksekusi. Sayangnya, bukan kali pertama dan tampaknya belum akan menjadi yang terakhir. (Sumber: Football365)
Levy Ingin Juara Tapi Lupa Belanja
Setelah 17 tahun puasa gelar, kemenangan di final Liga Europa seharusnya menjadi awal era baru bagi Tottenham. Tapi Daniel Levy justru memecat Ange Postecoglou yang membawa trofi tersebut, dengan alasan yang terdengar seperti ambisi tapi terasa seperti satire:
“Kami perlu menjuarai liga, kami ingin menjuarai Premier League dan Liga Champions.”

Masalahnya, Levy tampaknya lupa bahwa keinginan besar harus diiringi dengan tindakan konkret. Ketika bursa transfer dibuka, Spurs terlihat lebih banyak bingung daripada berbenah. Ini membuat kegagalan transfer Spurs terlihat seperti kebiasaan tahunan, bukan kecelakaan sekali waktu.
Drama Gibbs-White dan Kegagalan Strategi
Kisah transfer Morgan Gibbs-White menjadi simbol paling mencolok dari musim panas kacau ini. Spurs dikabarkan sudah mencapai tahap akhir untuk mendatangkannya, hanya untuk melihat pemain tersebut menandatangani kontrak baru dengan Nottingham Forest. Tidak ada kejelasan penuh soal siapa yang mempermainkan siapa, tapi yang pasti Spurs keluar sebagai pecundang.

Entah itu Forest yang cerdas bermain dengan rumor, atau Gibbs-White dan agennya yang sekadar menaikkan nilai tawar, hasil akhirnya sama. Spurs gagal lagi. Bahkan, kontrak baru Gibbs-White di Forest pun hanya semacam perpanjangan pendek tanpa jaminan masa depan. Itulah kenapa banyak yang menyebut ini sebagai kegagalan transfer Spurs yang benar-benar mulus, bahkan “terorganisir” secara ironis.
Pembelian yang Tidak Menjawab Masalah
Dalam bursa transfer musim panas ini, Spurs memang mengamankan beberapa pemain, tapi sayangnya tidak ada yang memberi dampak instan:
- Kevin Danso dan Mathys Tel: Perekrutan permanen dari pemain pinjaman yang solid, tapi bukan pengubah permainan.
- Luka Vuskovic: Bek muda bertubuh besar dari Kroasia yang punya prospek masa depan, tapi belum siap tampil reguler musim ini.
- Mohammed Kudus: Perekrutan yang sempat memberi harapan. Tapi performa Kudus musim lalu menurun drastis, sehingga butuh pemulihan form yang signifikan.

Jika dibandingkan dengan target semula seperti Eberechi Eze dan Xavi Simons, hasil akhir bursa ini memang mengecewakan. Bahkan momen euforia ketika rumor Kudus dan Gibbs-White muncul hanya bertahan selama 24 jam sebelum semuanya runtuh.
Kenapa Spurs Selalu Gagal Menjual?
Salah satu aspek yang jarang dibahas tetapi krusial adalah kemampuan klub untuk menjual pemain. Di sinilah Spurs terlihat kontras dengan klub seperti Chelsea. Fans mungkin kerap mengeluh soal minimnya pembelian, tapi pertanyaan penting lainnya adalah kenapa Spurs tidak bisa menjual pemain dengan efektif?

Beberapa pemain yang sudah tidak masuk rencana masih bertahan, menghambat ruang finansial dan strategi tim. Ini menyebabkan ketimpangan antara ambisi manajemen dan realita di lapangan. Kegagalan transfer Spurs bukan hanya soal siapa yang tidak datang, tapi juga siapa yang tidak pergi.
Apa Kata Levy dan Kutipan Blanchflower
Ambisi Daniel Levy tidak bisa dibilang kecil. Namun pernyataannya sering dianggap terlalu besar untuk dijalankan secara realistis. Yang paling mengundang komentar adalah saat ia mengutip ambisi menjuarai Premier League dan Liga Champions tanpa strategi konkret.
Sebagai pembanding, kutipan legendaris dari Danny Blanchflower, mantan kapten Spurs, terdengar jauh lebih elegan dan relevan:
“It is better to fail aiming high than to succeed aiming low. And we of Spurs have set our sights very high, so high in fact that even failure will have in it an echo of glory.”
Sayangnya, kegagalan Spurs saat ini lebih menggema sebagai lelucon daripada kejayaan.
Prediksi Musim Depan dan Peluang Realistis
Kini saatnya melihat ke depan. Setelah kegagalan transfer Spurs yang berulang, bagaimana nasib mereka musim depan?
1. Peluang Liga Champions
Secara realistis, Tottenham harus bekerja keras hanya untuk mengamankan posisi empat besar. Dengan tim-tim seperti Manchester City, Arsenal, Liverpool, dan bahkan Aston Villa yang terus berkembang, Spurs bisa tertinggal jika tak segera memperkuat skuad.
2. Harapan di Liga Europa
Mengingat pengalaman manis musim lalu, Spurs punya peluang untuk kembali bersaing di Liga Europa. Namun dengan skuad yang tidak jauh berbeda, pengulangan sukses tidak bisa dianggap otomatis.
3. Top Performers yang Dibutuhkan
Spurs sangat bergantung pada kembalinya performa maksimal dari pemain seperti Mohammed Kudus dan James Maddison. Tanpa mereka, lini tengah Spurs terlihat tumpul.
4. Rotasi dan Kedalaman Tim
Dengan minimnya pembaruan di skuad, rotasi pemain akan menjadi masalah. Jika ada cedera, terutama di lini belakang atau striker utama, Spurs bisa mengalami penurunan performa drastis.
Reputasi Spurs di Mata Dunia
Kegagalan transfer Spurs secara tidak langsung juga memengaruhi citra klub di mata pemain, agen, dan klub lain. Spurs dianggap sebagai klub yang:
- Terlalu pelit dalam negosiasi
- Tidak konsisten dalam ambisi dan tindakan
- Rentan berubah haluan dalam proses transfer

Situasi ini membuat klub kesulitan bersaing mendapatkan pemain top. Bahkan rumor yang beredar justru digunakan oleh pihak lain untuk kepentingan mereka sendiri, seperti dalam kasus Gibbs-White.
Pelajaran dari Klub Lain
Klub seperti Chelsea dan Aston Villa menunjukkan bahwa strategi transfer yang tegas dan cepat bisa mengubah arah musim. Chelsea, misalnya, mampu menjual pemain seperti Kai Havertz dan Mason Mount dengan nilai tinggi, lalu mengisi kembali skuad dengan prospek muda. Spurs? Masih menunggu pintu keluar dibuka oleh yang punya kunci, Daniel Levy.
Satu Langkah Maju Dua Langkah Mundur
Jika musim lalu adalah satu langkah maju dengan kemenangan di Liga Europa, maka musim panas ini terasa seperti dua langkah mundur. Alih-alih memperkuat skuad untuk membangun momentum, Spurs justru terlihat kebingungan. Hal ini mengingatkan kita kembali pada sindiran tajam:
“Lads, it’s Tottenham.”
Kalimat ikonik yang kini malah dijadikan bahan jualan oleh klub sendiri dalam bentuk merchandise, alih-alih dihapuskan dari persepsi publik.
Mimpi Tinggi Tapi Kaki Tak Menyentuh Tanah
Daniel Levy telah menanamkan mimpi tinggi kepada fans dan manajemen. Tapi tanpa fondasi kuat di bursa transfer, semua itu hanyalah mimpi yang mengawang. Ketika target juara liga diumumkan dengan penuh percaya diri, tapi hasil belanja hanya menyentuh level “cukup”, maka tidak salah jika kegagalan transfer Spurs terasa sebagai hasil alami.

Akhirnya Kami Tertawa Bukan Karena Bahagia
Saat ini mungkin hanya satu hal yang bisa membuat fans Spurs tersenyum, komedi situasi yang tampaknya tak pernah berakhir. Klub ini memiliki kemampuan langka untuk membuat drama internal lebih menarik dari pertandingan itu sendiri. Jika sepak bola adalah panggung, maka Spurs selalu siap tampil di genre komedi, bukan aksi.
Dan seperti biasa, kita akan tetap menonton. Dengan harapan. Dengan frustrasi. Dan tentu saja, dengan sedikit tawa getir di akhir cerita.