Tottenham Hotspur bukan lagi Big Six bukan sekadar provokasi emosional atau ejekan rival. Pernyataan ini lahir dari rangkaian data, konteks sejarah, serta keputusan struktural yang dalam satu dekade terakhir justru menjauhkan Spurs dari meja elite Premier League. Klub yang pernah menantang Eropa dan berdiri di final Liga Champions kini lebih sering berbicara soal bertahan di papan tengah daripada bersaing memperebutkan gelar.

Realitas tersebut terasa kontras karena Tottenham masih membawa simbol klub besar seperti stadion megah, fasilitas latihan kelas dunia, serta pendapatan komersial yang stabil. Namun, sepak bola modern tidak hanya diukur dari aset fisik. Konsistensi prestasi, arah kebijakan, dan kualitas keputusan di balik layar menjadi faktor penentu. Di titik inilah penurunan Tottenham terlihat jelas dan sulit disangkal.
Fondasi Kuat yang Tidak Pernah Dimaksimalkan
Secara historis, Tottenham memiliki modal yang tidak dimiliki banyak klub Inggris. Sejak awal era Premier League, mereka relatif konsisten bersaing di papan atas dan beberapa kali mencicipi Liga Champions. Bahkan, jumlah partisipasi Spurs di kompetisi elite Eropa lebih baik dibanding banyak klub di luar lingkaran Big Six tradisional.

Investasi besar juga dilakukan di luar lapangan. Training ground Hotspur Way yang dibuka pada 2012 dipandang sebagai salah satu fasilitas terbaik di Eropa. Stadion baru Tottenham Hotspur Stadium yang diresmikan pada 2019 menjadi simbol ambisi klub untuk naik kelas secara global. Namun, seiring waktu, muncul pertanyaan mendasar. Untuk apa semua fondasi ini dibangun jika tidak diterjemahkan menjadi keunggulan kompetitif di lapangan.
Masalahnya bukan pada kurangnya sumber daya, melainkan kegagalan mengonversi potensi menjadi prestasi berkelanjutan. Tottenham Hotspur bukan lagi Big Six karena klub lain dengan fondasi serupa mampu memaksimalkan momen krusial, sementara Spurs justru berhenti di tengah jalan.
Era Emas yang Berakhir Tanpa Regenerasi
Puncak modern Tottenham terjadi di era Mauricio Pochettino. Spurs tidak hanya kompetitif, tetapi juga memiliki identitas jelas. Intensitas tinggi, pressing agresif, dan keberanian menyerang menjadikan mereka penantang serius di Inggris dan Eropa.
Inti tim saat itu dikenal sebagai DESK yang terdiri dari Dele Alli, Christian Eriksen, Son Heung min, dan Harry Kane. Keberhasilan ini dibangun lewat rekrutmen cerdas dan pengembangan internal. Namun, setiap era sukses menuntut regenerasi. Pochettino sendiri memperingatkan perlunya painful rebuild, pernyataan yang dikutip luas oleh Goal.com.

Alih-alih melakukan penyegaran, manajemen memilih stagnasi. Selama 18 bulan, Spurs tidak merekrut pemain baru. Akibatnya, skuad yang telah mencapai batas fisik mulai runtuh. Untuk memperjelas jurang tersebut, perbandingan berikut menunjukkan bagaimana perubahan era memengaruhi arah klub.
Perbandingan Tottenham Era Pochettino dan Pasca 2019
Setelah era Pochettino berakhir, Tottenham memasuki fase eksperimen yang membingungkan. Klub berpindah dari satu filosofi ke filosofi lain tanpa fondasi jangka panjang. Jose Mourinho datang dengan pendekatan pragmatis yang bertolak belakang dengan identitas sebelumnya. Meski sempat memimpin klasemen, proyek ini berakhir tanpa trofi dan tanpa progres berkelanjutan.

Pergantian ke Nuno Espirito Santo lalu Antonio Conte menunjukkan pola yang sama. Setiap pelatih membawa tuntutan berbeda, sementara skuad tidak pernah benar benar disesuaikan. Conte sempat membawa Spurs ke empat besar, tetapi kembali menyoroti masalah internal klub sebelum pergi dengan nada frustrasi. Situasi ini mempertegas krisis Tottenham yang bukan soal satu sosok pelatih, melainkan sistem yang tidak mendukung kesinambungan.

Ange Postecoglou sempat menghidupkan kembali optimisme. Gaya bermain menyerang dan atmosfer positif membuat Tottenham kembali relevan di awal musim. Bahkan, ia mempersembahkan trofi Europa League. Namun, finis di peringkat 17 Premier League menjadi alarm keras bahwa ada masalah mendasar yang tidak terselesaikan. Tottenham Hotspur bukan lagi Big Six karena keberhasilan sesaat selalu diikuti kemunduran tajam.
| Aspek | Era Pochettino | Era Pasca 2019 |
|---|---|---|
| Posisi liga | Konsisten empat besar | Papan tengah hingga 17 |
| Inti pemain | Kane, Son, Eriksen, Dele | Skuad terfragmentasi |
| Identitas permainan | Intens dan progresif | Berubah ubah |
| Konsistensi Eropa | Liga Champions rutin | Tidak stabil |
| Stabilitas manajerial | Tinggi | Rendah |
Tabel ini menegaskan bahwa kemerosotan Tottenham di Premier League bukan terjadi tiba tiba, melainkan akibat kegagalan menjaga kesinambungan.
Pergantian Manajer Tanpa Arah Jelas
Setelah Pochettino pergi, Tottenham memasuki fase kebingungan identitas. Klub berpindah dari satu filosofi ke filosofi lain tanpa fondasi jangka panjang. Jose Mourinho datang dengan pendekatan pragmatis yang kontras dengan era sebelumnya. Meski sempat memimpin klasemen, proyek ini berakhir tanpa trofi dan tanpa progres.

Pergantian ke Nuno Espirito Santo lalu Antonio Conte memperlihatkan pola serupa. Setiap pelatih membawa tuntutan berbeda, sementara skuad tidak pernah benar benar disesuaikan. Conte bahkan menyoroti masalah internal klub sebelum pergi dengan nada frustrasi. Situasi ini menegaskan bahwa krisis Tottenham bersifat sistemik.
Pergantian Manajer Tottenham dan Dampaknya
| Manajer | Periode | Pendekatan | Hasil Utama | Dampak |
|---|---|---|---|---|
| Pochettino | 2014–2019 | Intens menyerang | Final Liga Champions | Identitas kuat |
| Mourinho | 2019–2021 | Pragmatis | Tanpa trofi | Retak internal |
| Nuno | 2021 | Defensif | Dipecat cepat | Arah kabur |
| Conte | 2021–2023 | Taktis ketat | Empat besar | Konflik |
| Postecoglou | 2023–2024 | Menyerang | Juara Europa League | Finis 17 |
| Thomas Frank | 2024– | Transisi | Tidak stabil | Tekanan fans |
Dari tabel ini terlihat jelas bahwa Tottenham Hotspur bukan lagi Big Six karena tidak pernah memberi satu proyek waktu dan dukungan penuh.
Kebijakan Transfer dan Upah yang Terlalu Konservatif
Salah satu indikator paling jelas dari penurunan Tottenham adalah pendekatan finansial mereka. Menurut laporan Swiss Ramble, rasio gaji terhadap pendapatan Spurs berada di angka 42%. Angka ini terendah di Premier League dan bahkan mendekati klub kecil yang berjuang di papan bawah.
Kebijakan ini memang menjaga stabilitas keuangan, tetapi mengorbankan daya saing. Di era ketika rival Big Six berani membayar premium untuk pemain siap pakai, Tottenham justru terlalu berhati hati. Akibatnya, klub sering tertinggal dalam perebutan talenta elite.

Beberapa pembelian mahal seperti Tanguy Ndombele, Richarlison, dan Dominic Solanke tidak memberikan dampak sebanding. Ketika Kane hengkang ke Bayern Munchen, Spurs gagal menyediakan pengganti dengan kualitas setara. Penundaan satu musim untuk merekrut striker utama menjadi bukti lemahnya perencanaan jangka menengah.
Faktor Struktural yang Mempercepat Kejatuhan
1. Mentalitas menang di meja negosiasi
Fokus berlebihan pada efisiensi membuat Tottenham sering kehilangan momentum penting di bursa transfer. Negosiasi yang terlalu lama berujung kegagalan mendapatkan target utama.
2. Ketergantungan pada pemain inti
Dalam periode panjang, Spurs terlalu bergantung pada Kane dan Son. Ketika salah satu pergi atau menurun secara fisik, performa tim langsung jatuh drastis.

3. Ketidakjelasan peran teknis
Tumpang tindih kewenangan di level sporting director menciptakan kebingungan. Pergantian dan tumpang tindih kewenangan antara figur seperti Johan Lange dan Fabio Paratici menciptakan kebingungan dalam strategi rekrutmen.
4. Minimnya kepemimpinan lapangan
Skuad muda memang menjanjikan, tetapi minim figur senior yang mampu menjaga stabilitas saat tekanan meningkat.
Gejolak di Level Manajemen
Masalah Tottenham tidak berhenti di lapangan. Keputusan untuk melepas Daniel Levy dari peran operasional tidak otomatis menyelesaikan persoalan. ENIC tetap menjadi pemilik mayoritas, sementara perubahan wajah manajemen belum sepenuhnya diiringi perubahan filosofi.

Masuknya Vinai Venkatesham sebagai CEO memicu perdebatan, terutama karena latar belakangnya di Arsenal. Di sisi lain, kembalinya Fabio Paratici setelah masa larangan menimbulkan tanda tanya besar soal arah kebijakan klub. Ketidakstabilan ini menciptakan ketidakpastian yang berdampak langsung pada performa tim utama.

Tottenham Hotspur bukan lagi Big Six karena klub elite menuntut kesinambungan di semua lini. Tanpa struktur yang solid, bahkan sumber daya besar pun tidak cukup untuk bersaing di liga paling kompetitif di dunia.
Indikator Lapangan yang Sulit Dibantah
- Posisi liga yang menurun
Finis di peringkat 17 dan berada di papan bawah pada musim berikutnya menunjukkan tren negatif yang konsisten. - Atmosfer kandang yang merosot
Stadion megah tidak lagi menjadi benteng. Jumlah kemenangan kandang terendah sejak era Perang Dunia menjadi simbol kemunduran psikologis. - Minimnya identitas permainan
Pergantian pelatih membuat gaya bermain Spurs berubah ubah tanpa karakter jelas.

Dampak Jangka Panjang bagi Tottenham
- Daya tarik pemain menurun
Pemain top cenderung memilih klub dengan peluang trofi yang lebih realistis. - Tekanan finansial terselubung
Meski pendapatan besar, kegagalan di Eropa berdampak pada potensi komersial jangka panjang. - Risiko stagnasi permanen
Tanpa perubahan fundamental, Spurs berpotensi terjebak sebagai klub papan tengah.

Ketika Status Big Six Tinggal Nama
Dalam Premier League modern, status Big Six ditentukan oleh konsistensi bersaing di level tertinggi. Tottenham gagal memenuhi kriteria ini dalam satu dekade terakhir. Klub lain dengan struktur lebih rapi mulai menyalip, sementara Spurs masih terjebak dalam dilema lama.
Tottenham Hotspur bukan lagi Big Six karena jarak dengan elite semakin melebar. Tanpa perubahan mendasar, status tersebut akan tinggal sejarah dan bahan banter. Spurs masih punya semua alat untuk bangkit, tetapi sepak bola tidak memberi hadiah pada potensi yang disia siakan. Selama keputusan besar terus diambil setengah hati, cermin itu akan terus memantulkan kenyataan yang sama.