Piala Dunia 2026 semakin dekat, dan seperti yang bisa ditebak, bukan hanya sepak bola yang menjadi perhatian. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan Presiden FIFA, Gianni Infantino, baru saja mengumumkan pembentukan gugus tugas untuk memastikan turnamen ini berjalan sukses di Amerika Utara. Dalam sebuah konferensi pers di Oval Office, mereka menyoroti dampak ekonomi besar yang diharapkan dari ajang ini. Tapi, apakah ini murni soal sepak bola? Atau ada kepentingan lain yang ikut bermain?
Trump, Infantino, dan Sepak Bola Sebagai Alat Promosi
Dalam konferensi pers tersebut, Infantino mengklaim bahwa World Cup 2026 akan menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar $40 miliar dan menciptakan 200.000 lapangan pekerjaan. Trump, dengan gayanya yang khas, langsung menyambut klaim tersebut dan menandatangani dokumen pembentukan gugus tugas seolah-olah ia baru saja menandatangani undang-undang revolusioner.

Yang menarik, pembentukan gugus tugas ini sebenarnya tidak memerlukan dekret presiden. Jadi, apakah ini murni soal sepak bola, atau sekadar momen pencitraan politik? Well, kalau sepak bola memang punya piala untuk yang paling jago promosi, mungkin Trump sudah mengangkat trofinya sejak lama.
Momen Canggung: Apakah AS Bisa Juara?
Dalam salah satu momen yang cukup mengundang tawa (atau heran), Trump bertanya, “Apakah AS bisa menang?” Sebuah pertanyaan yang langsung diabaikan oleh Infantino. Mungkin Trump berharap Infantino menjawab dengan penuh keyakinan, “Tentu saja, Pak Presiden!” Tapi sayangnya, sepak bola tidak bisa dimanipulasi dengan tweet atau tanda tangan dekret.

Tak hanya itu, Trump juga sempat mengklaim bahwa ini adalah pertama kalinya Piala Dunia digelar di wilayah tersebut. Padahal, faktanya Meksiko sudah pernah menjadi tuan rumah pada 1970 dan 1986, dan AS sendiri menggelarnya pada 1994. Tampaknya, sejarah sepak bola bukanlah bagian dari briefing presiden pagi itu.
Piala Dunia atau Panggung Politik?
Sejarah menunjukkan bahwa Piala Dunia sering kali digunakan sebagai alat politik. Benito Mussolini melakukannya pada 1934, rezim militer Argentina menggunakannya pada 1978, dan kini, sepertinya Trump ingin memastikan namanya akan selalu dikaitkan dengan Piala Dunia 2026. Meski turnamen ini juga digelar di Kanada dan Meksiko, jangan heran jika narasi yang lebih dominan akan tetap berpusat di Amerika Serikat.
Ekspansi, Super Bowl-isasi, dan Pro Kontra
FIFA telah mengumumkan beberapa perubahan besar untuk Piala Dunia 2026, termasuk penambahan jumlah tim dari 32 menjadi 48. Bahkan ada rumor bahwa edisi berikutnya bisa diperluas menjadi 64 tim. Jika ini terus berkembang, jangan kaget kalau nantinya setiap negara di dunia bisa ikut serta, termasuk yang baru belajar main bola minggu lalu.

Salah satu perubahan paling kontroversial adalah rencana untuk menghadirkan pertunjukan paruh waktu di final Piala Dunia, layaknya Super Bowl. Jadi, jangan kaget kalau suatu hari nanti kita melihat Cristiano Ronaldo kembali ke lapangan bukan untuk bermain, tapi untuk menyanyikan lagu tema Piala Dunia.
Sepak Bola atau Bisnis Murni?
Langkah FIFA ini menimbulkan banyak perdebatan. Para puritan sepak bola khawatir bahwa esensi asli permainan ini semakin terkikis oleh kepentingan bisnis. Sementara itu, para pemegang hak siar dan sponsor tentu saja menyambut baik gagasan ini karena semakin besar penonton, semakin besar pula keuntungan mereka.

Apakah Piala Dunia 2026 akan menjadi ajang yang penuh dengan euforia sepak bola? Atau justru semakin dipenuhi oleh kepentingan politik dan bisnis?
Yang jelas, untuk update terbaru tentang dunia sepak bola, kunjungi BolaBanter.com dan follow Instagram kami di @bolabanterdotcom!
Sumber: