Musim 2024-25 Real Madrid sejatinya dimulai dengan optimisme tinggi, Mbappé mendarat di Bernabéu, Bellingham masih hot dari musim sebelumnya, dan skuad bertabur bintang siap mengguncang Eropa. Namun seiring waktu, yang terguncang justru mental tim dan ekspektasi fans. Dari tersingkir memalukan oleh Arsenal di Liga Champions hingga kebingungan taktik Ancelotti, Madrid bak kehilangan kompasnya.
Tersungkur di Eropa: Mimpi Buruk
Awal musim yang cerah mendadak jadi mendung ketika Real Madrid dipermalukan Arsenal dengan agregat 5-1 di perempat final Liga Champions. Koran Marca tanpa basa-basi menulis, “Humiliated”, sementara Diario AS mengaku, “It was just a dream.”

Kekalahan telak 3-0 di Emirates dan kegagalan membalikkan keadaan di Bernabéu membuktikan bahwa mimpi remontada ala Madrid kini tinggal cerita masa lalu. Sorotan tajam langsung menghujani semua elemen klub mulai dari para pemain yang tampak loyo, taktik Ancelotti yang usang, hingga Presiden Florentino Pérez yang dianggap gagal membangun skuad seimbang.
Mbappé, Vini & Bellingham: Trio Mewah, Tapi Tak Kompak
Meski di atas kertas punya trio menakutkan, kenyataannya Mbappé, Vinícius Jr., dan Bellingham terlihat seperti tiga solois dalam konser simfoni yang kehilangan konduktor. Ya, mereka mencetak banyak gol dan assist, tapi kontribusi bertahan mereka nyaris nihil. Bahkan secara statistik, Mbappé dan Vini adalah pemain yang paling banyak jalan kaki di LaLiga.

Jude Bellingham sampai frustrasi dan menyebutkan pentingnya “mengetahui kapan dan ke mana harus berlari.” Real Madrid musim ini memang banyak berlari, tapi sering tanpa arah. Taktik Ancelotti yang masih mengandalkan formasi 4-4-2 saat bertahan seolah tak cocok dengan skuad yang isinya pemain depan semua.
Krisis Identitas di Lapangan dan Bangku Cadangan
Selain soal taktik, Real Madrid juga mengalami krisis struktur. Kehilangan sosok seperti Toni Kroos dan Nacho jelas meninggalkan lubang besar, baik secara teknis maupun karakter. Dani Carvajal dan Militão yang cedera panjang memperparah keadaan. Sementara itu, pemain pelapis seperti Vázquez atau Ceballos memang berusaha, tapi ya… namanya juga pelapis.

Yang lebih membingungkan, Ancelotti bersikukuh memainkan semua bintang secara bersamaan, meski tahu risikonya. Ini seperti mencoba memuat empat superkomputer dalam satu colokan, ujung-ujungnya meledak.
Bursa Transfer: Harapan Palsu?
Madrid memang dikenal cerdas di bursa transfer, datangkan bintang gratisan macam Mbappé, Alaba, dan Rüdiger. Kini mereka disebut-sebut sedang mengejar Trent Alexander-Arnold dan Dean Huijsen. Tapi pertanyaannya, apakah penambahan individu bisa memperbaiki tim yang secara kolektif berantakan?

Dengan pembukaan Club World Cup di Juni nanti, Madrid harus segera memutuskan masa depan Ancelotti. Jika ingin ganti pelatih, idealnya dilakukan sebelum turnamen dimulai. Xabi Alonso digadang-gadang jadi suksesor, tapi akan aneh kalau debutnya justru dimulai di ajang global tanpa sempat mengenal tim.
Jalan Terjal di Sisa Musim
Meski tampil loyo, Madrid masih punya peluang meraih gelar ganda domestik, LaLiga dan Copa del Rey. Sisa laga mereka sangat krusial, termasuk dua el clásico melawan Barcelona yang bisa menentukan nasib Ancelotti.
Jadi, apakah Real Madrid musim ini benar-benar seburuk itu? Atau kita hanya terbiasa dengan standar ‘nyaris sempurna’ ala Los Blancos?
Gaya Telenovela Bernabéu
Musim ini lebih mirip telenovela penuh plot twist: dari mimpi menjadi juara Eropa, jadi kisah pencarian jati diri. Entah apakah Ancelotti akan bertahan, atau wajah baru akan memimpin revolusi. Yang pasti, drama belum selesai.

Untuk kamu yang nggak mau ketinggalan kisah Real Madrid dan sepak bola global lainnya, kunjungi BolaBanter.com dan follow Instagram kami di @bolabanterdotcom. Karena sepak bola tak pernah kehabisan cerita dan kami selalu siap membawakannya untukmu dengan gaya yang beda!
Sumber: